A. PELAPORAN
PERKARA
Dasar
hukum laporan perkara adalah Pasal 10 ayat 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan
tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain yaitu terhadap penyelenggaraan
peradilan dan tingkah laku serta perbuatan para hakim di semua lingkungan badan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
Laporan perkara pada Pengadilan Agama mengacu
pada ketentuan Pola Bindalmin[1]
yang menjadikan pelaporan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan
rangkaian dari tugas yang diemban oleh Peradilan di dalam melaksanakan amanah
undang-undang untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara[2]
yang diajukan kepadanya. Sekalipun pelaporan tidak menjadi tugas pokok yang
secara langsung melekat pada lembaga Peradilan dan tersurat di dalam
undang-undang, namun laporan perkara dapat menjadi instrumen penting yang dapat
menentukan dan menilai kinerja aparat Peradilan (mulai dari Ketua, hakim,
panitera, maupun para panitera pengganti) yang melaksanakan tugas menyelesaikan
suatu perkara yang ditangani. Melalui laporan perkara yang disajikan, tercermin
proses penanganan suatu perkara oleh suatu majelis,
intensitas
waktu yang dibutuhkan, sampai bagaimana mekanisme penanganan perkara berjalan
efektif dan memenuhi aturan yang ditentukan[3].
Menyusun atau membuat laporan perkara adalah tugas Panitera Pengadilan terkait
dengan fungsi dan tugasnya sebagai Pelaksana Administrasi Pengadilan meskipun
pada implementasinya Panitera dapat dibantu oleh Wakil Panitera atau para
Panitera Muda(Panmud Hukum) setelah suatu perkara diterima dan didaftar
(diregistrasi) sampai perkara tersebut dinyatakan selesai (diputus) atau
dilanjutkan pada proses hokum lainnya.
Laporan perkara pada Peradilan Agama meliputi keadaan perkara, kegiatan hakim, keuangan perkara, faktor penyebab perceraian, keadaan perkara yang dimohonkan Banding, Kasasi, PK, dan Eksekusi),
laporan mediasi, penerapan PP 10/1983, aktivasi advokat
yang beracara para Pengadilan Agama, dan sebagainya. Pada Pengadilan
Agama, laporan Perkara dapat dikategorikan antara lain laporan bulanan, laporan
4 bulanan, laporan semester (6 bulan), dan laporan Tahunan (dari segi waktu).
Dari segi materi laporan terdiri dari laporan keadaan perkara, laporan keuangan
perkara, laporan jenis perkara, laporan faktor penyebab perceraian, laporan
tentang PP 10 Tahun 1983, laporan perkara yang dimohonkan banding, kasasi, PK,
dan eksekusi, laporan kegiatan hakim, laporan pelaksanaan sidang keliling,
laporan mediasi, laporan penggunaan akta cerai, serta laporan
pertanggungjawaban uang iwadl. Beragamnya laporan perkara yang harus disusun berdasarkan
ketentuan waktu atau materi (isi)nya, menuntut pembuat laporan (di bawah
tanggung jawab Panitera) memberikan data yang akurat dan benar, di samping
memenuhi ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur oleh Mahkamah Agung dan
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilang), antara lain bahwa
laporan perkara bulanan disampaikan secara tepat dan hirarki setiap bulan pada tanggal
10 dan 15 bulan berikutnya. Demikian halnya dengan penyampaian laporan
perkara Empat bulanan (yang
harus disampaikan pada Mei, Agustus,
dan Desember) dan laporan Semester/Enam
bulanan (disampaikan setiap
bulan Juli/akhir Juni dan Desember). Pada Pengadilan Tinggi
Agama (tingkat banding), secara umum ketentuan pelaporan perkara tidak berbeda dengan ketentuan pelaporan pada
Pengadilan Agama (tingkat pertama), terutama dalam hal waktu yang
ditentukan. Dari segi materi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung
(Panitera) maupun Dirjen Badilag, laporan perkara pada Pengadilan Tinggi Agama
lebih bersifat mengakomodir dan rekapitulasi dari data-data laporan Pengadilan
Agama yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama di samping menyusun
laporan dari kegiatan internal tupoksi pengadilan tingkat banding yang
menangani perkara-perkara banding yang menjadi kompetensinya (perkara banding
yang diterima dan diputus).
Laporan
Perkara pada Pengadilan Agama secara ideal memiliki urgenitas atau fungsi-fungsi[4] sebagai
berikut :
1. Sebagai
alat pantau, segala
tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh Mahkamah Agung
dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai kawal depan dari Mahkamah Agung RI
2.
Sebagai
bahan untuk meneliti kebenaran dari
evaluasi.
3.
Sebagai
bahan/dasar bagi MARI
untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang
dilakukan oleh PTA dan sebagai bahan bagi PTA untuk mengevaluasi hasil pengawasan
yang dilakukan oleh PA.
4.
Sebagai
bahan untuk mengetahui kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai, sehingga di dalam mengambil keputusan dalam
rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Penulis
mencermati, dari 4 (empat) fungsi laporan tersebut di atas, fungsi lain yang
lebih konkrit dan lebih luas antara lain :
a)
Sebagai
Data informasi. Secara umum dan
kasat mata, dari bentuk hard copy ataupun soft copy laporan perkara yang
disampaikan suatu lembaga kepada lembaga lain di atasnya, akan menjadi
informasi yang tepat dan suatu bentuk komunikasi (melaporkan hasil
pekerjaan) mengenai aktivitas atau kegiatan lembaga, aparat, hingga
hasil kinerja selama kurun waktu tertentu
b) Indikator
efektivitas ketentuan atau aturan tertentu. Data yang tersaji dalam laporan
merupakan gambaran pelaksanaan tugas peradilan secara menyeluruh, khususnya
pelaksanaan tupoksi peradilan. Tanggal atau nomor perkara yang disajikan dalam
laporan merupakan manifestasi dari aturan yang harus dilaksanakan, seperti
ketentuan penetapan majelis hakim (PMH), penetapan hari sidang, sampai berapa
kali persidangan dilaksanakan tercermin dalam laporan. Efektif tidaknya aturan
yang semestinya, dapat terlihat dari data yang tersaji dalam laporan.
c) Tolok
ukur Kinerja Aparat Peradilan termasuk sistem manajerial pada satker. Laporan perkara memberikan
gambaran kinerja team work aparat peradilan, mulai dari hakim, panitera, sampai
petugas atau pejabat penyusun laporan (bertanggung jawab). Kinerja hakim dapat dinilai
melalui data suatu perkara sejak ditetapkan PMH, persidangan, hingga putusan dijatuhkan
dan minutasi. Demikian halnya dengan kinerja Panitera yang akan terlihat dari cara
atau kemampuannya mengelola keuangan perkara, tepat tidaknya menggunakan
biaya-biaya tersebut sesuai ketentuan, dll. Bagaimana peran dan prinsip yang
dipegang pimpinan satker dalam menyelaraskan dan mengapikasikan aturan hingga
segala bentuk ‘pertanggungjawaban” atau tugas lainnya dimanaje dengan baik dan
disampaikan tepat waktu.
d) Dapat
menjadi acuan di dalam menetapkan program, arah kebijakan, atau SOP bagi pimpinan
satker agar kualitas kinerja semakin meningkat. Laporan perkara
yang akurat, valid, dan sesuai ketentuan bisa menjadi bahan acuan atau
referens yang kuat bagi pimpinan di dalam menetapkan berbagai kebijakan
atau program kerja terutama menyangkut peningkatan kualitas pelaksanaan
tupoksi. Melalui data laporan, pimpinan khususnya dapat melihat,
mengevaluasi, dan menentukan aparat mana (hakim atau panitera) yang
telah melaksanakan tugas dengan baik atau sebaliknya, khususnya dalam
menangani perkara. Berdasarkan laporan pula, pimpinan dapat menetapkan
SOP (Standar Operasional Prosedur) pelaksanaan tugas yang lebih optimal jika
sebelumnya masih terevaluasi ditemukan kelemahankelemahan.
e)
Dapat menentukan keberhasilan lembaga peradilan. Urgensi laporan perkara yang
lebih besar barangkali adalah bahwa laporan dapat menentukan atau menjadi
indikator keberhasilan sebuah lembaga seperti peradilan di dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pemberi pelayanan. Laporan perkara yang tertib dengan data
yang disajikan akurat, valid, mencerminkan bahwa lembaga tersebut memiliki
sistem manajemen yang baik dan dikelola oleh orang atau aparat yang memiliki
kapasitas yang memadai. Bagaimana tugas masing-masing aparat dapat dilaksanakan
dengan baik dan proporsional sampai para pihak mendapat kepuasan atas pelayanan
yang diberikan adalah impact dari suatu pengelolaan manajemen yang baik. Oleh
karenanya, tidak berlebihan jika dari suatu laporan perkara sekalipun bagian
kecil dari pelaksanaan tugas peradilan, dapat mewakili citra sebuah lembaga
yang demikian besar.
kendala
penyusunan laporan perkara
beberapa
hal yang ditemukan di seputar pelaporan perkara (baik kemudian menjadi kendala
sewaktu penyusunan maupun menjadi permasalahan klasik pelaporan), dan menjadi permasalahan
atau kekeliruan, antara lain :
a.
Data perkara tidak akurat, misalnya data tanggal putusan
yang tidak tepat. Perkara belum diputus dilaporkan telah diputus atau
sebaliknya perkara sudah diputus tidak dilaporkan, akibatnya dapat mempengaruhi
jumlah keadaan perkara. Faktor yang paling dominan atas kekeliruan ini biasanya
karena instumen’alat bantu data’ tidak berjalan, sehingga komunikasi antar
bagian (khususnya pihak terkait dengan pelaporan) mendapat kendala.
b. Antara
satu jenis laporan dengan laporan lainnya tidak berkorelasi padahal semestinya
laporan-laporan tersebut berkesinambungan karena data harus saling mendukung
atau laporan yang satu menjelaskan laporan lainnya. Misalnya laporan perkara
yang telah diputus dalam laporan keadaaan perkara (LIPA 1) baik yang terperinci
maupun rekap tidak sesuai dengan data pada laporan jenis perkara (LIPA 8) padahal
data tersebut seharusnya bersesuaian karena data pada laporan jenis perkara bersumber
laporan keadaan perkara. Demikian dalam hal melaporkan data pengeluaran materai
dalam laporan keuangan (LIPA 7) yang semestinya sama dengan jumlah perkara
diputus dalam LIPA 1 atau LIPA 8, kerap ditemukan berbeda karena ada 1 (satu)
atau 2 (dua) perkara yang diputus tidak terhitung. Hal inipun menjadi kekeliruan
klasik yang sering ditemukan pada setiap laporan Pengadilan Agama.
c. Ketentuan-ketentuan
yang memperbarui atau menyempurnakan pelaporan perkara tidak selalu sampai
secara cepat dan tepat kepada pembuat laporan (satker di daerah). Terlebih jika peraturan baru
tidak disertai juklak atau juknik dan memungkinkan
diinterpretasikan berbeda oleh penyusun laporan, dapat menjadi kendala tersendiri untuk menyusun
laporan dengan baik.
d.
Efektivitas pemanfaatan media informasi teknologi
pada setiap satker berbeda. Bagi
satker yang terus menerus meningkatkan kemampuan untuk mendayagunakan media IT,
harapan dan keinginan untuk meningkatkan kualitas kinerja termasuk dalam hal
menyampaikan laporan perkara secara tepat waktu dapat tercapai. Berbeda bagi
beberapa satker yang masih menggunakan teknik manual, akselerasi yang diharapkan
masih menjadi kendala tersendiri.
e.
Team work kurang solid dan lemahnya fungsi
pengawasan. Antara
satu pejabat dengan pejabat lainnya, atau fungsi pengawasan yang tidak berjalan
sesuai ketentuan dapat menyebabkan laporan perkara dilaksanakan semata-mata
untuk memenuhi aturan tidak untuk manfaat atau nilai lain yang lebih berbobot
misalnya sebagai manifestasi kinerja yang berkualitas. Fungsi kontrol atasan
atau para pejabat yang bertanggungjawab terhadap isi laporan masih lemah dan
sebatas memberikan tanda tangan pada akhir penyusunan laporan (cek n ricek jarang
dilakukan).
f.
Kedisiplinan dan komunikasi. Tidak sedikit anggapan bahwa
menyusun laporan itu mudah dikerjakan hingga penyusunannya sering dilakukan
menjelang batas akhir waktu penyampaian. Akibatnya tidak cukup waktu untuk
mericek ulang data, laporan tersusun dalam waktu yang mendesak. Kendala lain
yang bersifat teknis menambah kendala yang cukup serius manakala para pejabat
yang berwenang tidak berada di tempat dalam waktu yang cukup lama.
g. Faktor
Human Error. Rasa
bosan pada rutinitas, malas, kurang cermat, tidak teliti dapat menyebabkan
laporan tidak akurat, tidak dapat disampaikan tepat waktu, dan memiliki banyak
kekeliruan. Karena laporan perkara bersifat kontinuitas dan berkesinambungan
antara satu dengan lainnya, atau dari satu waktu ke waktu berikutnya, maka
kekeliruan atau kesalahan dalam penyusunan laporan kerap berulang dan sering
ditemukan di dalam laporan perkara.
h.
Motivasi untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan
masih minim. Pengetahuan
tentang administrasi perkara yang dimiliki pembuat laporan sangat terbatas
(kurang pembinaan), ditambah sistem kaderisasi tidak berjalan efektif. Dengan
alasan rangkap jabatan atau terlalu sibuk dengan pekerjaan lainnya, motivasi untuk
meningkatkan kemampuan menjadi terabaikan. Padahal tugas menyusun laporan bukan
sesuatu yang sulit dipelajari jika kita mampu memotivasi diri dengan baik.
Termasuk dukungan dan kesempatan untuk belajar yang diberikan atasan atau pimpinan
secara terbuka kepada siapapun melalui sistem kaderisasi yang terarah, penegakan
reward and punishment yang efektif, laporan perkara akan menjadi tugas yang
ringan yang bisa memberikan prestasi bagi satker secara komprehensif.
B.
PENGERTIAN SITA DAN PENYTAAN
Penyitaan
berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa
indonesia “beslag” namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa
pengertian penyitaan yaitu:
1.
Tindakan
menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke dalam keadaan
penjagaan.
2.
Tindakan
paksa penjagaan (custody) itu ditahukan secara resmi (official) berdasarkan
permintaan pengadilan atau hakim.
3.
Barang
yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan,
tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas
keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial
verkoop) barang yang disita tersebut. Dengan mempertahankan pengertian
tersebut, dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai landasan
penerapan penyitaan yang perlu diperhatikan.
4.
Sita
merupakan tindakan hukum eksepsional Sita merupakan tindakan hukum yang diambil
pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Sering
sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan. Dalam
penyitaan ini seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu.
Sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan. Bila kita analisis, penyitaan
membenarkan putusan yang belum dijatuhkan.
Tegasnya,
sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan.
Tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta
kekayaan tergugat. Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum
yang sangat ekspensional. Pengabulan penyitaan merupakan tindakan hukum
pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala
pertimbangan yang hati-hati sekali. Tidak boleh diterapkan secara serampangan
tanpa alasan yang kuat, yang tidak didukung oleh fakta yang mendasar. Jangan
sampai terjadi sita telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat, tetapi
gugatan ternyata ditolak oleh pengadilan. Kebijakan mengabulkan sita jaminan,
sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan
dikabulkan gugatan penggugat.
Oleh
karena penjatuhan sita seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat
sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan
berbagai dampak yang harus dipikul tergugat. Antara lain dari segi kejiwaan. Dengan
adanya penyitaan tentunya telah menempatkan tergugat dalam suasana dalam posisi
keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan
berlangsung, sedang putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan
menyalahkan tergugat, namun dengan adanya penyitaan, kepercayaan masyarakat
terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Dapat kita simpulkan bahwa pengadilan
berdampak psikologis.
Dengan
memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut
untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa
situ atau penyitaan adalah bergerak dapat sangat eksepsional, sita memaksakan
kebenaran gugatan, dimana sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau
sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi
tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta
kekayaannya.
Sita
sebagai tindakan perampasan Pada hakikatnya penyitaan merupakan perintah
perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah
perampasan itu, dilakukan pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan
permohonan tergugat. Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya :
a.
Bersifat
permanen Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan
dengan perintah penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan
penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
b.
Bersifat
Temporer (Sementara) Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta
kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat temporer apabila hakim
memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang
seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan
mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat
menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.
Berbicara
mengenai makna penyitaan sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah
hakim, makna perampasan dalam penyitaan jangan diartikan secara sempit dan
bersifat mutlak. Mengartikan secara sempit dan mutlak, bisa menimbulkan
penyalahgunaan lembaga sita jaminan. Penyalahgunaan itu terus terjadi dalam
praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti sita jaminan sebagai
perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai
tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan
bersifat mutlak terlepas dari hak dan penguasaan serta pengusahaan barang yang
disita dari tangan tergugat.
Oleh
karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaan,
perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional memberlakukan barang sitaan.
Acuan yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi
hakim adalah :
a.
Sita
semata-mata hanya sebagai jaminan Istilah, maksud dan esensi jaminan, harta
yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak
ilusioner.
b.
Hak
atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat Sekalipun barang yang disita dirampas
atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di
tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara
pihak- pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik
tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita diperbuat.
c.
Penguasaan
benda sitaan tetap dipegang tergugat Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak
milik atas benda sitaan tidak tanggal dari kekuasaan tergugat, maka penguasaan
atas benda sitaan tetap berada ditangan tergugat. Salah besar praktek hukum
yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan pengugat.
Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat
9 HIR atau Pasal 212 Rbg. Pada pasal tersebut secara tegas ditentukan bahwa
juru sita atau penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan semula
ditempat dimana barang itu disita. Dan si tersita disuruh untuk menyimpan atau
menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan menyimpan sebagian barang di tempat
penyimpanan yang dianggap patut, penjagaan, dan penguasaan hak miliknya tetap
ditangan si tersita, Cuma hal itu diberitahukan kepada polisi agar barang
tersebut tidak dilarikan orang. Demikian kira-kira ringkasan yang tersimpul
pada Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg. Pasal ini adalah memberi
kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan,
dan pengusahaan barang yang disita di tangan penggugat atau dibawah penjagaan
pengadilan.
Penyitaan
berdampak psikologis Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah
mengenai dampak psikologis sita. Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya
terbuka yang umum, seperti:
a.
Pelaksanaannya
secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya.
b.
Secara
resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun bisa pula
di tonton oleh masyarakat luas.
c.
Administratif
Justisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor
yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan
nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai
pelaku bisnis. Tindakan penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas
bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk penyitaan dari
segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis
tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial.
Tujuan
Penyitaan
Sepintas
lalu sudah sering disingung apa yang menjadi tujuan sita jaminan. Tujuan
utamanya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan harta kekayaan
kepada pihak ke tiga. Inilah yang menjadi salah satu tujuan sita jaminan yaitu
untuk menjaga keutuhan keberadaan harta atau harta kekayaan tergugat selama
proses pemeriksaan perkara berlangsung sampai perkara memperoleh putusan yang
berkekuatan hukum tetap.
Dengan
adanya perintah penyitaan atas harta tergugat
atas harta sengketa, secara hukum telah terjamin keutuhan keberadaan barang
yang disita misalnya didalam contoh surat gugatan perkara harta bersama dalam
perkara warisan pada bagian petitum biasanya di mohonkan kepada hakim agar
dilakukan sita jaminan terhadap barang-barang yang disengketakan. Akibat hukum
dari segi pidana. [5]Jadi
dapat kita simpulkan bahwa sita jaminan harus diajukan oleh pihak penggugat
selama perkara berlangsung guna menjaga keutuhan barang barang yang menjadi
objek sengketa. Berdasarkan uraian tersebut diatas, sita jaminan merupakan
upaya hukum agar tercipta keutuhan dan keberadaan harta yang disita sampai
keputusan dapat di eksekusi, hal ini menjaga agar gugatan pada saat proses
eksekusi tiba terjadi tidak hampa sehingga dengan telah diletakkannya sita pada
harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dan pelaksanaan penyitaan telah
didaftarkan dan diumumkan kepada masyarakat, maka terhitung sejak tanggal
pendaftaran dan pengumuman sita, (sesuai dengan Pasal 213 Rbg), telah
digariskan akibat hukumnya seperti yang diatur dalam Pasal 215 Rbg) yaitu :
1.
Demi
hukum melarang tergugat untuk menjual, memindahkan barang sitaan kepada siapa
pun
2.
Pelanggaran
atas itu, menimbulkan dua sisi akibat hukum :
(a.)
Akibat
hukum dari segi perdata. Apabila barang menjadi objek sengketa dilakukan
tindakan jual beli atau penindasan hak atau barang tersebut maka tindakan atau
perbuatan tersebut batal demi hukum. Akibat dari batalnya demi perbuatan
tindakan tersebut,secara hukum, status barang tersebut kembali menjadi dalam
keadaan semula sebagai barang sitaan, sehingga tindakan atau perbuatan
pemindahan hak atas barang dianggap tidak pernah terjadi (never existed).
Ini diatur dalam Pasal 215 Rbg.
(b.)
Dalam
hukum pidana, apabila pihak tergugat / yang kena sita melakukan penjualan atau
pemindahan hak dan barang-barang menjadi sengketa, diancam sesuai Pasal 231
KUHP, tindakan pidana yang diancam dengan Pasal 231 KUHP ini adalah berupa
tindak kejahatan yang dengan sengaja melepas barang yang telah dijatuhi sita
menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbuatan.tindak
kejahatan ini diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Apabila kita
merinci, tindak kejahatan yang diatur Pasal 231 KUHP adalah tindakan terhadap
barang sitaan berupa :
-
Melepaskan
barang yang disita, baik menjual, maupun memindahkan hak atas barang yang menjadi
objek sengketa.
-
Melepaskan
barang yang disimpan atas perintah hakim, dan
-
Menyembunyikan
barang yang dilepaskan dari sitaan.
Dari
teknis peradilan, penyitaan (beslag) adalah salah satu upaya hukum yang
dilakukan penggugat memohonkan diadakannya lembaga sita guna menjamin dan
melindungi hak dan kepentingannya atas harta kekayaan tergugat agar tetap
terjaga keutuhannya sampai diperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Upaya ini dilakukan untuk menjaga agar tidak ada etikad buruk (bad faith)
dari pada tindakan penggugat yang berusaha melepaskan diri dan mengelak
memenuhi tanggung jawab perdata sesuai putusan pengadilan yang merupakan
kewajibannya yamg timbul karena adanya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Wanprestasi
telah dilakukannya.
Akibat
hukum yang timbul dari penyitaan ini adalah berupa harta kekayaan tergugat
berada dan ditempatkan di bawah penjagaan dan pengawasan pengadilan sampai ada
perintah pengangkatan atau pencabutan sita.
Seandainya
ada tindakan tidak baik dari penggugat (bad faith) maka baik dari segi
perdata dan pidana sudah ada aturan dan ancaman hukum atas perbuatan / tindakan
tersebut. Namun aturan ini berlaku setelah penyitaan diumumkan melalui
pendaftaran pada buku register kantor yang berwewenang sesuai Pasal 213 Rbg. Dengan
mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan Pasal 215 Rbg dan Pasal 231 KUH
Perdata, terjamin perlindungan yang kuat penggugat atas terpenuhinya pelaksanaan
putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan.
Barang
yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi. Hal ini sesuai
dengan apa yang telah diterangkan terlebih dahulu. Ini dapat kita lihat pada
Pasal 214 Rbg yang menegaskan bahwa setiap barang yang disita dilarang
diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada pihak ketiga atau pihak lain.
Ada
tujuan lain yang tidak kalah penting dalam penyitaan, selain dari memberi
kepastian kepada penggugat bahwa gugatannya telah dijamin dan mempunyai arti
dan nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan. Yaitu adanya sita,
berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas kemenangan penggugat, atau
disimpulkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan
penggugat tidak ilusioner (hampa) sehingga kemenangan penggugat ada
suatu materinya, yakni barang yang disita tersebut :
a. Dapat langsung diserahkan kepada
pihak penggugat, jika sengketa perkara merupakan hak milik
b. Atau jika barang yang disita
dapat di eksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan
merupakan perselisihan hutang-piutang atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan PMH
atau wanprestasi.
Dalam
hal ini perbuatan jual beli merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam
Pasal 214 Rbg, dimana jual beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu
telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti itu, sita itu masih tetap
menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan
tersebut. Sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.
Kepastian
objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA
yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang
disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. Namun dalam hal ini,
penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan identitas barang
yang hendak disita pada saat permohonan sitq diajukan pada ketua majelis. Ini
agar menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada dan sesuai
data di lapangan. Misalnya penggugat harus menjelaskan letak, ukuran dan
batasan-batasannya.
Lebih lanjut penegasan MA memberi kepastian
atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap, kemenangan
atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang
sitaan tersebut. Akhirnya apabila kita lihat penjelasan diatas, kita yang
menangkap tentang tujuan pokok dari penyitaan yakni sebagai berikut :
-
Untuk
melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan
menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan
hukum tetap.
-
Memberi
jaminan kepastian hukum bagi Penggugat terhadap kepastian terhadap objek
eksekusi, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Syarat
dan Alasan Penyitaan
1. Syarat
Pengajuan Penyitaan.
Penyitaan tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa
memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup
dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan.
Syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan
sita kepada hakim. Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut
sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan
berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah
akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan
permohonan sita.
a. Sita
Berdasarkan Permohonan.
1) Permohonan
diajukan dalam surat gugatan.
Biasanya
dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama didalam surat gugatan. Bentuk
dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini lazim dijumpai.
Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat
gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok. Pengajuan
permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan
pokok.
Apabila
permohonan sita diajukan bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita
di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedoman yang secara sistematis,
sebagai berikut:
a) Gugatan
sita dirumuskan setelah uraian posita atau dalil gugat.
Menurut penulis cara yang seperti ini
adalah cara yang tepat, perumusan dalil gugat itulah layak dan tidak layak
diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan
mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih
tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alasan kepentingan
penyitaan.
b) Permintaan
pernyataan sah biasanya diajukan pada petitum kedua.
Biasanya setelah diuraikan perumusan
permohonan sita pada akhir posita gugat, permohonan sita itu dipertegas lagi
dalam petitum gugat, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang
diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan
berharga.
2) Permohonan
terpisah dari pokok perkara.
Ada kalanya
permohonan sita diajukan terpisah dari pokok perkara, pada bentuk permohonan
ini penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri yang
terpisah dari gugatan pokok perkara.
Disamping
gugatan perkara, penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang
lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri
secara lisan. Namun didalam prakteknya, bentuk permohonan sita tersendiri
secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu
bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita
secara lisan.
b. Memenuhi
tenggang waktu pengajuan sita.
Tenggang waktu pengajuan sita adalah
sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi
pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum[6].
Penentuan tenggang waktu pengajuan
permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Memperhatikan kekuatan
tersebut selain menentukan tenggang waktu pengajuan sita, namun sekaligus juga
mengandung permasalahan tentang instansi tempat pengajuan sita. Menurut
ketentuan undang – undang, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan :
1)
Selama putusan belum dijatuhkan atau
selama belum berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal
261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu
selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Jadi selama
putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan
permohonan sita.
2)
Sejak mulai berlangsung pemeriksaan
perkara di sidang pengadilan negeri sampai putusan dijatuhkan.
Dalam
Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum
dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut menurut penulis terbatas
pada ruang lingkup
proses
pemeriksaan sidang pengadilan negeri. Sehingga jika proses pemeriksaan
diinstansi pengadilan negeri masih berlangsung, maka dapat diajukan permohonan
sita.
3) Atau
selama putusan belum dapat dieksekusi.
Dalam Pasal 261
ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat
dieksekusi (dilaksanakan)”. Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung
arti yuridis selama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. 9
Jadi permohonan
sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena
putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap yang dapat dibanding
maupun dikasasi.
c. Permohonan
sita harus berdasarkan alasan.
Permohonan sita
yang telah dimohonkan tadi selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita.
Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi
dengan suatu alasan sita yang kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat sita
atau penyitaan, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta
menimbang alasan sita tersebut dengan teliti. Jangan sampai permohonan sita itu
dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan tersebut dengan alasan yang dibenarkan
oleh hokum
Memang secara
tegas undang-undang memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita harta
kekayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo.
Pasal 206 Rbg, namun hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap
permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya.
Sebelum
permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa
fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk
penggelapan yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi
objek sengketa tersebut. Apabila alasan sita memang telah sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa
perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila
alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan
unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita
ditolak.
Hal ini
ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat juga. Walaupun esensi atau alasan
utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek
perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalu
merugikan pihak tergugat.
d. Permohonan
sita diajukan pada instansi yang berwewenang. Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1
Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan tenggang waktu sita. Didalam
permasalahan kewenangan memerintahkan pelaksanaan sita, masih merupakan
pendapat diantara praktisi hukum.
1) Pendapat
pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Menurut pendapat ini, hanyalah
Pengadilan Negeri yang memmpunyai kewenangan atas sita.
Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan
yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansi tingkat banding.
Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan
sebagai berikut:
a)
Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak
sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak berwewenang memerintahkan PN untuk
melakukan sita. Kecuali apabila PN mencabut permohonan sita , maka PT
berwewenang penuh untuk mengabulkan sita dengan cara membatalkan putusan PN.
b)
Apabila penggugat menganggap perlu
dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka
permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus
pengabulan atau permohonan sita.
2) Pendapat
kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita.
Menurut pendapat Prof[7].
Subekti Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT)
selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkat banding. Alasan
beliau berpijak pada Pasal 261 Rbg yang didalamnya terdapat kalimat “Sebelum
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Disini Prof. Subekti menyimpulkan
kalimat tersebut ” menunjukan “ bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan
kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat banding.
e. Penggugat
wajib menunjuk barang yang hendak disita.
Seperti kita ketahui sebelumnya, permohonan
sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk
penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas
dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yang berkaitan dengan identitas
barang.
Jadi, kewajiban penggugat sehubungan
dengan penunjukan barang yang diminta untuk disita mengandung unsur:
1) Menjelaskan
letak, sifat ,dan ukuran barang.
2) Mengemukakan
surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang).
3) Penegasan
positif status barang adalah milik tergugat.
Namun diantara beberapa
unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat
menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang. Menurut
praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan
unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang
positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan
tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita
secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan
debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk
mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita.
Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil
bagi penggugat meminta hakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak
disita, karena penyitaan adalah untuk kepentingan penggugat maka dialah yang
mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
2. Alasan
Penyitaan.
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya penyitaan adalah tindakan yang bersifat
eksepsional dan merupakan perampasan harta kekayaan tergugat sebelum jatuh
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi permohonan sita atau penyitaan harus
berdasarkan alasan yang kuat. Didalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat
menunjukan kepada hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan
dilakukan dalam perkara yang bersangkutan.
Ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun
Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah, sebagai berikut:
a. Adanya
kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna
menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama
proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran
atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, dimana:
1) Penggugat
harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat
untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses
pemeriksaan perkara berlangsung.
2) Sekurang-kurangnya,
penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk
menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan
penggugat.
3) Sesuai
dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata tugas
hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.[8]
Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan
kerugian dari pihak penggugat.
Hal ini harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan
dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian
dari pihak penggugat. Kesimpulannya, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan
kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk
mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal 720 Rv, alasan dapat
dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk
yang nyata.
Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak
permohonan sita apabila alasan sita tidak kuat. Karena menurut undang- undang,
yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. Jadi alasan sita harus dapat
benar-benar meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat
pada akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar terjamin haknya sekiranya
gugatannya dikabulkan nanti, dan telah berkekuatan hukum tetap untuk
dilaksanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Pola Bindalmin
adalah suatu pola pembinaan bidang administrasi yang dikembangkan di dalam
lingkungan Peradilan (Pola
Pembinaan dan Pengendalian
Administrasi Perkara) meliputi penerimaan/pendaftaran,adminstrasi biaya
perkara,
register, laporan, persiapan
persidangan, pelaksanaan persidangan, pengarsipan). Buku II Edisi 2009, hal.
1-54
[2] Yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah diubah
menjadi Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
[3] Pada Pengadilan
Agama dikenal dengan LIPA 1 (laporan keadaan perkara), pada Pengadilan Tinggi
Agama dikenal dengan
RK-1.
[4] Dr.H.Abdul
Manan, SH.,S.Ip., M.Hum & Drs.H.Ahmad Kamil, SH., M.H, Pola Bindalmin,
penerapan dan Pelaksanaan um, Jakarta :
Direktorat
Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Ditjen Badilag, MA RI , 2007, h. 69.
[5] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara
Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 57
[6] M. Yahya
Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op.
Cit., h. 25
[7] Subekti, Hukum
Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, h. 49
[8] Subekti, Hukum
Acara Perdata, Bina Cipta, Jakarta, 1977, h. 49
0 komentar:
Posting Komentar